Desa Culik diperkirakan didirikan sekitar abad ke-6, sekitar tahun Isaka 500. Awalnya desa ini bernama Desa Culidra dan termasuk wilayah Desa Adat Datah, terletak dekat dengan Pantai Amed.
Sejarah mencatat bahwa suatu ketika, Bhatari Danuh Sakti, perwujudan dari Bhatara Wisnu, datang ke Desa Culidra dengan membawa sesuatu yang terbungkus daun kumbang. Para pemuka Desa Culidra menyambut kedatangan beliau dengan penuh hormat. Bhatari Danuh kemudian memerintahkan mereka untuk melaksanakan upacara Yadnya Ngebo.
Namun, karena rasa penasaran, para pemuka desa mencoba membuka isi bungkusan tersebut dengan lidi (nyulik-nyulik). Saat itu, setitik air jatuh dari bungkusan dan berubah menjadi mata air besar. Mata air tersebut menciptakan sebuah sungai di dekat Pasar Culidra, yang menghasilkan suara “Nguuuuung.” Oleh sebab itu, sungai ini dinamakan Tukad Macengung (atau Tukad Cengung).
Tindakan para pemuka desa membuat Bhatari Danuh murka. Sebagai hukuman, beliau mengganti nama Desa Culidra menjadi Desa Culik dan meramalkan bahwa desa ini tidak akan memiliki mata air besar, kecuali dalam bentuk pemerasan kecil. Mata air tersebut akhirnya menghilang. Menyadari kesalahan mereka, para pemuka desa memohon ampun kepada Bhatari Danuh. Sebagai tanda pengampunan, beliau meminta agar Desa Culik mengadakan upacara besar Ngusaba Ngebo setiap sepuluh tahun sekali.
Setelah itu, Bhatari Danuh melanjutkan perjalanan ke desa-desa lain, seperti Ababi, Sidemen, dan Selat. Di sana, beliau disambut dengan hormat, sehingga muncul mata air besar yang membawa kemakmuran bagi desa-desa tersebut.
Perjalanan Sejarah Desa Culik
Desa Culik kemudian berkembang di bawah naungan Desa Adat Datah, bersama Desa Adat Tukad Besi. Namun, kewajiban Desa Culik untuk memberikan urunan berupa babi guling setiap acara adat terasa berat bagi para pemuka desa. Hal ini memunculkan keinginan untuk berdiri sendiri. Setelah melalui proses panjang, termasuk melibatkan Raja Karangasem, Anak Agung Made Ngurah Karangasem, Desa Culik akhirnya resmi berdiri sebagai desa adat yang mandiri.
Pada masa berikutnya, Desa Culik turut berkontribusi dalam menumpas pemberontakan I Gusti Ngurah Ketut Jit Mategil dari Sibetan. Warga desa, bersama para pemuka seperti Ki Pasek Culik dan Ki Arya Gajah Para, berhasil mengalahkan pemberontakan tersebut. Sebagai bukti kemenangan, mereka membawa kentongan besar dan batu pipih yang hingga kini disimpan di Banjar Seloni. Kentongan tersebut dianggap keramat dan dipercaya berbunyi sendiri saat desa dalam keadaan terancam.
Perubahan Status Administratif
Pada masa pemerintahan Kerajaan Karangasem, Desa Culik pernah menjadi pusat wilayah kepunggawaan yang membawahi beberapa desa. Namun, seiring waktu, status ini berubah. Culik kemudian menjadi Desa Perbekelan yang membawahi 17 banjar, hingga akhirnya dimekarkan menjadi empat desa persiapan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat:
- Desa Persiapan Kertha Mandala: Mencakup Banjar Linggawana, Tegalinggah, Kang-Kang, dan Kebon.
- Desa Persiapan Labasari: Mencakup Banjar Merita, Peselatan, dan Bebayu.
- Desa Persiapan Purwa Kerthi: Mencakup Banjar Biaslantang Kaler, Biaslantang Kelod, Babakan, Amed, dan Lebah.
- Desa Induk Culik: Mencakup Banjar Buayang, Pekandelan, Amerthasari, Geria, dan Seloni.
Pada tahun 1989, berdasarkan keputusan Gubernur Bali, desa-desa persiapan ini secara resmi diakui. Kemudian, pada tahun 1991, status desa persiapan tersebut ditingkatkan menjadi desa definitif, termasuk Desa Culik yang wilayahnya terdiri dari lima banjar. Sejarah Desa Culik mencerminkan perjalanan panjang dan penuh dinamika. Walaupun narasi ini belum sempurna, kontribusi masyarakat dan para cerdik pandai diharapkan dapat melengkapinya untuk generasi mendatang. Semoga bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mempelajari sejarah Desa Culik.